Selasa, 09 November 2010

keutamaan hidup di jalan dakwah

Pada dasarnya Allah telah menggariskan kepada kita tentang sebuah hakikat yang harus dijalani dalam seluruh aktifitas kehidupan, yaitu beribadah. Tanpa mengenal batas waktu, tempat dan usia. Sebab memang demikian adanya yang telah dinukilkan oleh Allah dalam surat Adz Dzariyat ayat 56. Bahwasanya setiap manusia diciptakan oleh Allah tidak lain kecuali untuk beribadah.

Dalam perkembangan maknanya, harus kita pahami bahwa ibadah tidak hanya sekedar shalat, puasa, zakat dan berhaji saja. Lebih dari itu bagaimana setiap kita bisa menjadikan seluruh tingkah laku, perkataan, pikiran, sikap dan potensi yang ada sebagai upaya untuk meraih ridha-Nya. Itulah mengapa kemudian pada banyak ayatnya Allah selalu mengingatkan manusia untuk selalu ber`amar ma`ruf nahi munkar.

Bila kita mengingat ajakan untuk selalu ber`amar ma`ruf nahi munkar, maka kita akan terbawa pada sebuah kegiatan yang juga seharusnya memberikan nilai pahala tersendiri yaitu berda`wah. Maka, saat mendengar kata-kata berda`wah, jangan pernah dibayangkan dalam benak kita bahwa kegiatan yang satu ini hanya terpaku pada kegiatan ceramah, ta`lim, wirid, tasqif, daurah atau bahkan kultum semata. Sebab, dalam banyak ayat ternyata Allah selalu mengingatkan agar kita bisa memenuhi proses mengajak pada kebaikan dan mencegah pada keburukan. Sehingga, kita akan memahami bahwa sebenarnya berda`wah adalah bagaimana kita bisa mengintegralkan desah nafas kehidupan untuk selalu mengingat hakikat penghambaan yang sebenarnya.

Para ulama sepakat bahwa definisi umum tentang da`wah adalah kegiatan menyeru manusia kepada jalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik sehingga mereka yang dida`wahi mengingkari segala bentuk pengabdian kepada selain Allah, lalu mereka mengimani Allah, keluar dari kegelapan sistem hidup jahiliyah menuju terangnya Islam.

Ayat-ayat yang menjadi dalilnya banyak sekali. Beberapa diantaranya adalah Surat An Nahl ayat 125, Ali Imran : 104, Ali Imran : 110, Al Maidah : 2, dan sebagainya.

Akan tetapi, semakin semakin hari semakin dibutuhkan tenaga yang luar biasa untuk dapat memberi pemahaman menyeluruh pada setiap orang akan hakikat da`wah yang sebenarnya. Banyak hal yang bisa dijadikan alasan seseorang untuk tidak ikut ambil bagian dalam barisan orang-orang mulia ini. Permasalahan kepahaman, minimnya ilmu, kurangnya pengalaman, keluarga yang tidak mendukung, bisa menjadi salah satu faktornya. Belum lagi bila pada akhir-akhir ini ternyata ummat Islam sendiri dihadapkan pada kondisi dilematis. Tudingan teroris, tak bisa diajak kompromi sampai sebutan militan garis keras, semakin menekan keinginan seseorang untuk menambatkan hatinya dalam berda`wah.

Padahal, bila kita belajar pada shirah nabawiyah (sejarah nabi), lebih banyak sebutan pedas yang semakin hari semakin meninggi menempel pada diri kaum muslim saat itu. Mulai dari sebutan orang gila sampai tukang sihir. Hal ini wajar, sebab salah satu ciri da`wah adalah sedikit pendukungnya, namun banyak penentangnya.

Ada beberapa keutamaan berda`wah yang harusnya dapat menjadi motivasi bagi kegiatan amal kita.

1. Pertama da`wah merupakan sebuah kenikmatan terbesar yang Allah berikan kepada kita (a`zhomu ni`amillah). Betapa tidak, dengan menyeru seseorang kepada kebaikan, orang yang tadinya bergelimang dengan dosa dapat diselamatkan melalui perantaraan kita. Artinya, ia telah mendapatkan hidayah Allah dengan usaha maksimal yang kita berikan. Sehingga, bila mengacu pada hadits Rasulullah, orang yang telah berhasil mengantarkan seseorang pada nikmatnya hidayah dia telah mendapatkan nikmat yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Dengan berda`wah kita telah menjadikan Allah ridha akan segala apa yang kita perbuat, Segala langkah kita akan dimudahkan. Walau terkadang di mata manusia kita seakan-akan hidup terlunta-lunta, namun sesungguhnya di sisi Allah telah dijanjikan banyak kenikmatan yang tak terbatas. Belum lagi ketika kita berda`wah, kecintaan kepada Allah (mahabbatullah) akan semakin meningkat, terpeliharanya iman dan juga mendapatkan nikmat iman yang luarbiasa. Mushab bin `Umair pada zaman rasul adalah seorang sahabat yang bergelimang dengan harta. Parasnya yang menawan ditambah wangi parfumnya yang bisa dideteksi dari jarak puluhan meter, membuat gadis-gadis Quraiys kembang-kempis melihatnya. Tetapi, apa yang terjadi ketika ia telah tersentuh dengan da`wah Islam. Segala apa yang dimiliki sebelumnya ia tinggalkan semua. Bahkan sampai harus membuat ibu kandungnya rela untuk memutuskan hubungan hanya karena beda prinsip hidup. Yang lebih memiriskan hati adalah ketika ia syahid di medan perang. Kain penutup tubuhnya tidak mencukupi untuk menyelimuti seluruh bagian tubuhnya. Ketika ditarik ke atas kepa, bagian kakinya tersingkap. Dan sebaliknya ketika kaki yang ditutupi, maka bagian kepala akan tersingkap.
Demikianlah adanya kenikmatan dari Allah apabila telah hadir pada jiwa seseorang. Segala bentuk kejayaan duniawi akan ditinggalkan seluruhnya. Kenikmatan yang pernah dirasakan digantikan dengan yang lebih baik oleh Allah SWT. Tidak ada target duniawi yang diharapkan. Apalagi pujian dari manusia.

2. Keutamaan yang kedua adalah orang-orang yang berda`wah telah melakukan amal yang terbaik (ahsanul `amal). Dengan berda`wah seseorang tidak akan menjadikan keshalehan yang ia miliki hanya terbatas untuk seorang. Melainkan juga miliki orang lain. Sebab konsep berda`wah yang baik adalah bagaimana ia yang telah shaleh mampu memperbaiki orang lain. Sembari memperbaiki diri sendiri, juga mengajak orang lain untuk menerima kebaikan tersebut.
Merujuk pada Al Qur`an Surat Al Fushilat ayat 33. Di sana jelas dikatakan bahwa da`wah adalah amal yang paling utama dari sekian banyak amal yang ada.

3. da`wah adalah tugas utama dari rasul (mihnatur rasul). Oleh sebab itu bila kita memang mengakui diri sebagai seorang muslim yang sejati, sudah selayaknya mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan rasul. Dengan berda`wah kita telah memulainya.
Syaikh Mushthafa Masyhur mengatakan dalam buku Fiqh Da`wahnya bahwa jalan da`wah adalah jalannya para nabi dan orang shaleh setelahnya. Kerja rasul tidak lain dan tidak bukan melainkan hanya berda`wah. Oleh karena itu ketika seseorang telah komitmen (iltizam) terhadap jalan da`wah, maka ia telah mendapatkan keutamaan yang juga telah diberikan kepada nabi, para sahabat, sahabiyah, dan orang-orang beriman sesudahnya. Yang juga harus kita sadari, dalam da`wah kita tidak mementingkan tampilan fisik. Ada hal yang lebih utama dari itu, yaitu substansi. Sehingga, ketika mulai menda`wahi seseorang kita memang benar-benar memberikan transfer ruhiyah dan keimanan. Bukan sebaliknya, justru mengedepankan tampilan dibandingkan isi.

4. Keutamaan yang terakhir adalah kita akan mendapati kehidupan yang diridhai Allah SWT (al hayatu al mubarak). Hidup ini akan selalu penuh dengan keberkahan. Beberapa indikasi yang didapatkan adalah kehidupan yang dicintai Allah SWT, mendapatkan cinta Allah, rahmatNya, pahala yang tak pernah terputus dan juga pahala yang selalu dilipatgandakan. Jangan pernah berharap ketika telah meng-azzam-kan diri dalam da`wah kita akan mendapat keuntungan dalam hidup. Yang didapat justru sebaliknya. Tantangan, cobaan, cacian bahkan ancaman nyawa melayang adalah bumbu yang akan menempa seorang da`i. Tantangan seprti itulah yang sebenarnya akan membuat pribadi seorang da`i menjadi dewasa.

Pada akhirnya, marilah kita membenahi masyarakat yang ada saat ini dengan pemahaman da`wah yang komprehensif. Jangan pernah berharap akan mendapati masyarakat yang memilki kesadaran berislam yang kuat bila kita tidak pernah mengubahnya dari sekarang.

Untuk itu, mari kita perbaiki diri sendiri sembari mengajak orang lain agar menuju terangnya cahaya Allah. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan dalam berda`wah selagi kesemua itu untuk mengharap ridha Allah SWT. Maka, mulai dari diri sendiri, mulai dari yang paling kecil, dan mulai sekarang juga.

Fastabiqul khairat. Wallahu a`lam bishshawa

memulai dari diri sendiri

PERILAKU mulai dari diri sendiri merupakan sesuatu yang mudah dan aman dilakukan setiap orang, daripada perilaku menyuruh kepada orang lain. Memulai dari diri sendiri, juga berarti ia memiliki inisiatif yang tepat, sebelum memproyeksikannya kepada orang lain.
Budaya mulai dari diri sendiri (inisiatif) ini, bukankah merupakan perintah Allah SWT yang mesti dilakukan oleh setiap muslim? Dalam surat Ali Imran, ayat 102, Allah menuntun kita untuk beramal secara pribadi mendahului perintah beramal secara jamaah (koletif). Lagian, budaya inisiatif akan menuju pada muara kemandirian seseorang. Tugas kita adalah membangun kemandirian personal terlebih dahulu, baru disusul dengan kemandirian komunitas.
Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali Imran: 102). Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan ini akan berakhir dalam dua kondisi. Mati dalam keadaan Islam atau mati selain Islam. Dan modal pertama yang mesti kita gali, cari dan aplikasikan adalah taqwa kepada Allah.
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai, ….” (QS. Ali Imran: 103). Ayat ini menyadarkan kita bahwa dalam kehidupan ini, ada yang mesti dilakukan dan diselesaikan secara sendiri-sendiri, dan ada juga di pihak lain untuk menunaikan tugas-tugas besar yang tidak bisa diselesaikan sendiri, kecuali hanya bisa dilakukan secara bersama-sama (baca: komunitas umat).
Kebiasaan inisiatif ini akan melahirkan orang-orang yang prosfektif dalam memulai terlebih dulu dari dirinya sendiri melakukan amal-amal kebaikan. Walaupun dirinya tidak disuruh oleh siapa pun, atau kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Tapi, dengan mulai dari diri sendiri, maka ia akan memberi warna kehidupan pada lingkungannya. Bagaikan sebuah batu yang dilemparkan dalam air. Ia akan membentuk riak-riak kecil-besar-sampai tak terhingga. Itulah gambaran pancaran kebaikan dari pribadi orang beriman yang memulai dari diri sendiri. Perilaku ini, memang diperlukan oleh setiap orang sebagai prasyarat kesuksesan dirinya. Artinya biasakanlah setiap saat kita melakukan perbaikan diri, memulailah dari hal-hal kecil secara terus menerus, dan lakukanlah hal itu sesegera mungkin.
Berikut ini, ada beberapa ruang lingkup tentang memulai dari diri sendiri yang semestinya dilakukan setiap manusia, sebagai penjelmaan dirinya atas predikat kekhalifahaannya di muka bumi.

1. Memulai dalam hal keteladanan
Teladan itu diartikan sebagai sesuatu (perbuatan, barang, dsb) yang patut ditiru. Kita yakin, setiap orang akan merasa bahagia, seandainya pribadinya dapat menjadi contoh kebaikan bagi orang lain. Sebaliknya, ia akan bersedih bila orang mengetahui akan kejelekan dan kekurangan diri kita.
Untuk itu mulailah dari diri kita akan kebaikan. Yakni kebaikan yang dapat dicontoh dan dikenang orang lain, seperti halnya akhlak dan pribadi Rasulullah saw. Allah berfirman dalam QS. Al Ahzab, ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Berkait dengan manajemen diri ini, Allah juga menuntun kita seperti dalam QS. (59): 18, “Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Setiap kita bebas melakukan apa saja. Tapi, bagi orang beriman perbuatan kita saat ini akan berproyeksi dalam kehidupan di akherat nanti. Untuk itu, jadilah yang terbaik, seorang yang teladan dalam kebaikan. Misalnya, orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya, guru menjadi teladan bagi murid-muridnya, dll. Singkatnya, kita selalu berusaha menyandang predikat keteladanan ini berawal dari diri sendiri.

Berkait dengan itu, Rasulullah berkata, “Ibda’ binafsik!”, mulailah dengan dirimu. Dan Allah memerintahkan kepada kita, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka,…..” (QS. 66: 6). Ayat ini, berarti permulaan perintah ditunjukan kepada diri sendiri, kemudian disusul kepada keluarga terdekat. Dalam konteks ini, berarti mulailah keteladanan itu dari diri sendiri sebelum beranjak kepada orang lain.
Realisasi keteladanan itu seperti dipraktekkan oleh Abu Bakrah, sahabat Rasulullah saw., yaitu: Dari ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah, bahwa ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku mendengar engkau setiap pagi berdo’a: Allaahumma ‘aafinii fii badanii, Allaahumma ‘aafinii fii sam’ii, Allaahumma ‘aafinii fii basharii, wa laa ilahaa illa anta (Ya Allah, sehatkanlah badanku. Ya Allah, sehatkanlah pendengaranku. Ya Allah, sehatkanlah penglihatanku. Tiada tuhan kecuali Engkau) yang engkau ulang tiga kali pada pagi hari dan tiga kali pada sore hari.” Ia menjawab: “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw. berdoa dengan kata-kata ini. Oleh karena itu, aku senang mengikuti Sunnahnya …..” (HR. Abu Dawud).
Hadits tersebut, jelas-jelas membuktikan bahwa seorang anak mencontoh ayahnya itu, bukan dengan perkataan yang diucapkan langsung kepada anaknya. Tapi, ia dilakukan dengan perbuatan dan teladan dari ayahnya sehari-hari. Jelasnya, anak-anak itu, lebih mementingkan perilaku dan tindakan orang tuanya daripada perkataan-perkataannya. Lalu, mengapa kita tidak segera memulai keteladanan kebaikan itu, dari kita sendiri?

2. Memulai dalam hal keilmuan
Ilmu adalah sesuatu yang berharga dalam hidup ini. Dengan ilmu, orang dapat “sukses hidup” di dunia dan akherat. Pokoknya, ilmu merupakan modal dasar yang mesti kita cari dan cari sampai ajal menjemputnya. Orang untuk mencapai predikat teladanan juga perlu ilmu. Allah sendiri berjanji akan meninggikan derajatnya bagi mereka yang beriman dan berilmu. Allah berfirman, “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11).
Seseorang untuk mendapatkan ilmu, tidak dengan cara berdiam diri dan menutup hati terhadap ilmu yang ada pada sekitar kita. Tapi, justru untuk mendapatkan ilmu itu, lebih banyak ditentukan dari ketekunan dan kesabaran kita. Banyak contoh yang membuktikan hal ini. Yang jelas, kunci pembuka ilmu tidak lain adalah membaca dan membaca, kemudian merenunginya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini, Abu Darda’ benar-benar seseorang yang mengkuduskan ilmu dengan setinggi-tinggi kedudukan, disucikannya selaku ia seorang ’abid. Perhatikanlah ungkapannya tentang ilmu: “Orang tidak mungkin mencapai tingkat muttaqin, apabila tidak berilmu, apaguna ilmu, apabila tidak dibuktikan dalam perbuatan.” Ilmu bagi Abu Darda’ ialah pengertian dari hasil penelitian, jalan dalam mencapi tujuan, ma’rifat untuk membuka tabir hakikat, landasan dalam berbuat dan bertindak, daya fikir dalam mencari kebenaran dan motor kehidupan yang disinari iman, dalam melaksanakan amal bakti kepada Allah ar-Rahman.
Untuk itu, kita bisa belajar banyak pada para ulama dan tokoh-tokoh panutan Islam lainnya. Baik kehidupan kesehariannya atau lebih-lebih mengenai ilmu-ilmunya. Seperti Asy-Syafi’i rahimahullah, seorang yang ahli ibadah dan membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk shalat, dan sepertiga untuk tidur. Jadi, betapa pentingnya ilmu dalam hidup Asy-Syafi’i.
Kalau kita lihat dari segi akal, nampak jelas bahwa ilmu itu sesuatu yang utama, karena dengan ilmu manusia sampai kepada Allah dan menjadi dekat dengan-Nya. Dan sebaik-baik ilmu yang kita cari dan pelajari adalah ilmu yang dapat mendekatkan diri terhadap-Nya.
Pribadi seperti itu, akan memperoleh kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang kekal. Ilmu (agama Islam) itu mengantar kemuliaan seseorang di dunia dan di akherat. Dunia ini adalah tanaman akherat yang perlu benar-benar kita gali, bina dan pelihara. Maka, para orang alim itu dengan ilmunya menanam bagi dirinya kebahagiaan abadi dengan mendidik akhlaknya sesuai dengan tuntutan ilmu.
Apakah saudara tidak ingin amal yang diperbuat di dunia ini, amalnya tidak pernah putus, walaupun kita telah tiada? Seperti hadits berikut: “Jika manusia telah meninggal dunia maka putuslah amalnya, kecuali tiga macam: sedekah jariah (yang tahan lama); ilmu yang bermanfaat; dan anak shaleh (berakhlak baik) yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim). Inilah manfaat memulai dari diri sendiri dalam hal mencari ilmu.

3. Memulai dalam hal dakwah
Kegiatan dakwah adalah kewajiban atas setiap muslim. Walau satu ayat sekali pun, kita berkewajiban untuk berdakwah kepada orang lain. Selain itu, kita pun dituntut untuk melakukan kebajikan dan melarang berbuat keji, kemungkaran serta permusuhan (QS. 16: 90).
Tuntutan berdakwah ini, jelas-jelas harus kita mulai dari diri sendiri sebelum menyuruh (dakwah) kepada orang lain. Itulah sebaik-baik dakwah. Artinya, antara perkataan (isi dakwah) dengan perbuatannya adalah sejalan. Tepatnya, memperbaiki diri sebelum berdakwah. Lalu, mulai dari diri sendiri, anggota keluarga, dan kemudian baru pada lingkungan yang lebih luas lagi.
Perilaku memulai dari diri sendiri dalam hal dakwah ini, kita dapat mencontoh dari Umar bin Khattab r.a. Yakni perilaku Beliau setiap kali akan menyerukan perintah dan larangan kepada umatnya, selalu mengumpulkan anggota keluarganya dan berkata kepada mereka, “Aku akan menyeru orang-orang berbuat ini dan itu. Aku bersumpah, janganlah sampai aku menerima kabar bahwa salah seorang dari kalian meninggalkan perintahku atau melanggar laranganku. Kalau itu terjadi, pasti aku akan menindak kalian dengan keras.” Setelah itu, ia keluar dan menyerukan perintah dan larangan kepada segenap umat, dan tidak seorang pun berani melanggarnya.
Adapun keutamaan dalam dakwah dan kerugian akibat meninggalkan dakwah adalah seperti tersyirat dalam QS. (7): 165, “Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” Selain dari itu, kita juga akan mendapatkan balasan yang besar dari Allah SWT, seperti hadits Rasulullah saw. yang menyatakan: “Sungguh jika seseorang mendapat hidayah dengan tangan engkau (dakwah engkau), maka itu lebih baik dari onta merah”. Dari hadits lain disebut “….. lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.” Sungguh luar biasa balasan dari Allah ini, maka mulailah berdakwah dari diri sendiri, sebelum mendakwahi/didakwahi orang lain.

4. Memulai dalam hal ekonomi
Berusaha memenuhi kebutuhan bidang ekonomi adalah sesuatu yang telah dianjurkan-Nya. Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan kamu sekalian untuk senantiasa berbuat/ berusaha, maka berusahalah!” (HR. Bukhari). Namun yang perlu diwaspadai, adalah jangan sampai ekonomi yang kita cari dan dapat itu melupakan bekal kita untuk akherat kelak. Allah SWT berfirman, “Dan carilah, dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, bekal buat kepentingan hidup di akherat, dengan ketentuan jangan terlantarkan kepentingan hidupmu di dunia ini, berbuatlah dengan cara yang ihsan sebagaimana Allah senantiasa berbuat ihsan kepadamu…“ (QS. 28: 77). Di sini, penekanannya pada proyeksi untuk akherat, tapi tidak menyengsarakan kehidupan di dunia.
Inisiatif berusaha dan kemandirian ekonomi merupakan sesuatu yang mesti kita mulai dari setiap orang. Semakin kita banyak mengandalkan kebutuhan ekonomi kepada orang lain, maka saip-siap kita untuk “dikecewakannya”. Untuk itu, mulailah bagun perekonomian kita dan kokohkan kekuatannya dari pengaruh pihak lain.
Saat ini, begitu banyak perusahaan-perusahaan yang katanya “besar”, ternyata ia tidak mampu menghadapi terpaan berbagai krisis. Dan justru, perusahaan-perusahaan perekonomian rakyat —skala kecil dan menengah—berbasis modal sendiri yang mampu bertahan diterpa badai krisis saat ini. Lebih-lebih ia mengaktualisasikan sistem perekonomian Islam dalam usaha yang dibangunnya.
Melalui nikmat krisis ini, barangkali Allah memperlihatkan kepada orang-orang yang mau berpikir bahwa perekonomian yang tidak berdasarkan ajaran Islam dengan sendirinya akan hancur. Dan sebaliknya yang menerapkan sistem perekonomian Islam, pertumbuhan ekonominya akan meningkat dan tidak terjadi kesenjangan sosial. Hal ini seperti yang terjadi di Kelantan, Negeri bagian Malaysia. Jadi, amatlah benar sistem syariah Islam menjadikan manusia dalam keadaan yang sebenarnya dan menerangkan kepadanya lapangan kehidupan, agar ia meningkat dan memperoleh kehidupan yang mulia.
Untuk itu, bangunlah sejak dini dan memulai dari diri sendiri sifat kemandirian ekonomi ini. Artinya dalam skala minimal, berusahalah untuk mencukupi diri sendiri, agar tidak menjadi beban orang lain. Dan dalam skala makro, kita menjadi solusi dari masalah ekonomi, bukan menjadi sumber masalah ekonomi orang lain. Nabi saw mengatakan tidak ada makanan yang lebih baik, dari makanan yang diperoleh dari hasil tangannya sendiri. Lagian, bukankah kita dituntut harus kuat dalam ekonomi sesuai kemampuan masing-masing?
Allah berfirman, “Katakanlah (ya Muhammad kepada umatmu) hendaknya kamu semua bekerja/ berbuat menurut keahlian (profesi) masing-masing; bahwa Allah pasti mengetahui siapa di antara kamu yang berusaha pada jalan yang baik.” (QS. 17: 84).

5. Memulai dalam hal menjaga lingkungan hidup
Lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi, posisi keselamatan lingkungan hidup ini, tentu memiliki porsi besar dalam menentukan kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini. Lantas, sudahkan kita ikut menjaga dan memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup di sekitar kita?
Pertanyaan itu sengaja diungkap. Pasalnya, betapa memprihatinkannya kondisi lingkungan hidup di Indonesia belakangan ini. Yang jelas, pengelolaan lingkungan hidup berdasar pendekatan Atur—Dan—Awasi (ADA) dengan Undang-Undang lingkungan yang pidananya telah diperberat di negera kita itu, ternyata tak mampu mengurangi tindak pidana perusakan lingkungan hidup. Sebagai contoh kasus, korek api, sering dijadikan teknologi pembukaan lahan yang sangat murah, maka terjadilah kebakaran dan hutan gundul. Aliran sungai adalah juga termasuk teknologi paling murah untuk mengangkut sampah, bahkan masyarakat mengatakan gratis. Tapi, perilaku semua itu akan berdampak pada diri kita semua. Terjadilah bencana banjir dan tanah longsor di mana-mana. Itulah buah yang kita petik dari perilaku tidak ramah lingkungan.
Pantas saja Allah mengingatkan kita dalam QS. Ar-Ruum: 41, yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Oleh karena itu, dengan gagalnya pendekatan ADA, menurut pakar lingkungan hidup Unpad Bandung, Otto Soemarwoto, dalam pengelolaan lingkungan harus diganti dengan pendekatan masyarakat mengatur sikap dan kelakuan dirinya sendiri. Yakni berupa sistem pengelolaan lingkungan hidup Atur—Diri—Sendiri (ADS). Makna ADS ini ialah tanggung jawab menjaga kepatuhan dan penegakan hukum lebih banyak di tanggung oleh masyarakat (baca: diri sendiri).
Untuk itu, mari kita mulai dari diri sendiri dalam mewujudkan perilaku yang tidak merusak lingkungan hidup. Misalnya, tidak membuang sampah sembarangan, membersihkan lingkungan rumah masing-masing, tiap rumah menyediakan areal resapan untuk air hujan, dll. Bukankah Allah berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).
Apa yang dipaparkan di atas, tidak lain hanya sebagaian kecil dari perilaku dan kebiasaan yang mesti dibangun dan dimulai dari diri sendiri dalam menjalani kehidupan yang kompleks ini. Paparan yang bisa jadi sebagai do’a itu, semoga menjadi tali-tali (kesadaran) yang mengokohkan komitmen kita untuk menjadi solusi bagi diri dan lingkungannya, dan tenunan yang menyambungkan kebersamaan antar generasi menuju kehidupan yang lebih baik serta mendapat ridho-Nya

QURBAN


PENGERTIAN QURBAN
Dari segi bahasa, qurban bermaksud sesuatu yang dikorbankan kerana Allah subhanahu wata'ala.
Dari sudut syara', qurban bermaksud menyembelih binatang yang tertentu pada masa-masa yang tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala.

PENSYARI'ATAN DAN HIKMAHNYA

Qurban telah disyari'atkan pada tahun kedua hijrah sama seperti ibadah zakat dan sembahyang Hari Raya.

Firman Allah subhanahu wataala:

{ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ }
artinya:
Maka kerjakanlah sembahyang kerana Tuhanmu dan sembelihlah qurban (sebagai tanda syukur)  (Surah Al-Kautsar 108:2)

Hikmah disyari'atkan qurban ialah sebagai tanda bersyukur kepada Allah subhanahu wata'ala di atas segala nikmatNya yang berbagai dan juga di atas kekalnya manusia dari tahun ke tahun.

Ia juga bertujuan menjadi kifarah bagi pelakunya, sama ada disebabkan kehilapan-kehilapan yang telah dilakukan ataupun dengan sebab kecuaiannya dalam menunaikan kewajiban di samping memberikan kelegaan kepada keluarga orang yang berqurban dan juga mereka yang lain.

Qurban tidak memadai dengan menghulurkan nilai harganya, berbeda dengan ibadah zakat fitrah yang bermaksud memenuhi keperluan golongan fakir, Imam Ahmad dikatakan menyebut amalan menyembelih qurban adalah lebih afdhal daripada bersedekah dengan nilai harganya.

HUKUM MELAKUKAN QURBAN

Hukum melakukan qurban ialah sunnah mu'akkadah bagi siapa yang mampu melakukannya.
Sabda Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wasallam yang bermaksud:
Aku diperintahkan agar menyembelih qurban dan ia sunat bagi kamu
(Riwayat Tirmizi)


SYARAT-SYARAT HEWAN QURBAN
Qurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya, yaitu.

[1]. Hewan qurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik domba atau kambing biasa.

[2]. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.

a. Ats-Tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
b. Ats-Tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
c. Ats-Tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun
d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan

[3]. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

a. Buta sebelah yang jelas/tampak
b. Sakit yang jelas.
c. Pincang yang jelas
d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang

Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berkurban dengannya, seperti buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.

[4]. Hewan qurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua orang yang berserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.

[5]. Tidak ada hubungan dengan hak orang lain. Maka tidak sah berkurban dengan hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya di bagi.
[6]. Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka sembelihan kurbannya tidak sah

[Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni (VIII/637) dan setelahnya, Badaa’I’ush Shana’i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).

HEWAN QURBAN YANG UTAMA DAN YANG DIMAKRUHKAN
Yang paling utama dari hewan qurban menurut jenisnya adalah unta, lalu sapi. Jika penyembelihannya dengan sempurna, kemudian domba, kemudian kambing biasa, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.

Yang paling utama menurut sifatnya adalah hewan yang memenuhi sifat-sifat sempurna dan bagus dalam binatang ternak. Hal ini sudah dikenal oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Di antaranya.

a. Gemuk
b. Dagingnya banyak
c. Bentuk fisiknya sempurna
d. Bentuknya bagus
e. Harganya mahal

Sedangkan yang dimakruhkan dari hewan kurban adalah.

[1]. Telinga dan ekornya putus atau telinganya sobek, memanjang atau melebar.
[2]. Pantat dan ambing susunya putus atau sebagian dari keduanya seperti –misalnya putting susunya terputus-
[3]. Gila
[4]. Kehilangan gigi (ompong)
[5]. Tidak bertanduk dan tanduknya patah

Ahli fiqih Rahimahullah juga telah memakruhkan Al-Adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), Al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), Al-Mudaabirah (putus dari bagian belakang telinga), Asy-Syarqa’ (telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), Al-Kharqaa (sobek telinganya), Al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), Al-Batraa (yang tidak memiliki ekor), Al-Musyayya’ah (yang lemah) dan Al-Mushfarah [1]


TATA CARA PENYEMBELIHAN HEWAN QURBAN
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain.
I. Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:
وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
“Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”
b. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
c. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam.
Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu a’lam.
d. Terpancarnya darah
Dan ini akan terwujud dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)
Juga perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika hendak menyembelih hewan qurban:
يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ
“Wahai ‘Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)
2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.

Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal:
1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan
3. Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan.
4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan penyembelihan adalah:
- Bila terputus semua maka itu lebih afdhal.
- Bila terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah.
- Bila terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah.
- Bila terputus al-wadjan saja maka sah.
- Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi perbedaan pendapat. Yang rajih adalah tidak sah.
- Bila terputus al-hulqum saja maka tidak sah.
- Bila terputus al-mari` saja maka tidak sah.
- Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh, 6/52-53)

II. Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا
“Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Lalu beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”

III. Disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu di atas, dan diucapkan setelah basmalah.

IV. Bila dia mengucapkan:
بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan basmalah.

V. Bila dia menyebut nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala selain Allah, maka hukumnya dirinci.
a. Bila nama tersebut khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq, maka sah.
b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk, seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.

VI. Tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan contohnya dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)

VII. Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salaf.
Namun bila hal tersebut terjadi, maka sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di atas.

VIII. Diperbolehkan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

IX. Tidak diperbolehkan melafadzkan niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan:
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلاَنِ
“Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.”
Dan ucapan tersebut tidak termasuk melafadzkan niat.

X. Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih) sapi dan kambing. Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu disembelih dalam keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri, lalu ditusuk di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mendatangi seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata:
ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 1713 dan Muslim no. 1320/358)
Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing dan sapi serta men-dzabh unta, maka sah dan halal dimakan menurut pendapat jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat penyembelihannya.

XI. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).

XII. Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salaf. (Fatwa Al-Lajnah, 11/432-433, no. fatwa 6667)

Hukum-hukum Seputar Qurban
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:
1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
1. Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)
Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:
2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda:
ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوْفِ إِذَا أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا
“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”
3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا عَلَى الْمَسَاكِيْنِ وَلاَ أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
“Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:
- Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya.
11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.

Hukum-hukum dan Adab-adab Yang Terkait dengan Orang yang Berqurban
1. Syariat berqurban adalah umum, mencakup lelaki, wanita, yang telah berkeluarga, lajang dari kalangan kaum muslimin, karena dalil-dalil yang ada adalah umum.
2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka menghendakinya. Artinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih tidak bisa makan daging qurban sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427)
3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan kaki)
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698)
4. Dipersyaratkan hewan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli atau yang lainnya. Adapun bila hewan tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka tidak sah.
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّبًا
“Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no. 1015 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Begitu pula bila dia menyembelih hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak sah.
5. Bila dia mati setelah men-ta’yin hewan qurbannya, maka hewan tersebut tidak boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun hewan tersebut tetap disembelih oleh ahli warisnya.
6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits:
ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ
“Rasulullah menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat, di mana beliau diperintah oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menangani unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga hewan qurbannya disembelih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
“Apabila telah masuk 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka janganlah dia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)
Dalam lafadz lain:
وَلاَ بَشَرَتِهِ
“Tidak pula kulitnya.”
Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan pada hewannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam hadits ini ditujukan khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.
- Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum hewannya disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
- Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin qurbannya.
- Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain, tidak terkena larangan di atas.
- Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
8. Disyariatkan untuk memakan sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَكُلُوا مِنْهَا
“Maka makanlah sebagian darinya.” (Al-Hajj: 28)
Juga tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memakan sebagian dari hewan qurbannya.
9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُحُوْمِ اْلأَضَاحِي فَوْقَ ثَلاَثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ
“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu)
10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ
“Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)
Juga firman-Nya:
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“Beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)
Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ adalah orang faqir yang menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat butuh. Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid.
Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْمُعْتَرَّ adalah orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu.
11. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kaya sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin.
12. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kafir sebagai hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Dan yang dimaksud dengan kafir disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa tentang hal ini (11/424-425, no. 1997).
13. Diperbolehkan membagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang hewan tersebut.
HIKMAH IBADAH QURBAN
Di antara hikmah ibadah Qurban, ialah
1.    untuk mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah atas segala kenikmatan yang telah dilimpahkan-Nya yang jumlahnya demikian banyak, sehingga tak seorangpun dapat menghitungnya (QS Ibrahim, 14:34).
2.    menghidupkan sunnah para nabi terdahulu, khususnya sunnah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai Bapak agama monoteisme (Tauhid), Ibadah qurban berasal dari pengurbanan agung yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap puteranya yang memenuhi perintah Allah. Allah sangat menghargai dan memuji pengurbanan Nabi Ibrahim yang dilandasi oleh iman dan takwanya yang tinggi dan murni, kemudian mengganti puteranya Ismail yang akan dikurbankan itu dengan seekor hewan domba yang besar (QS Ash-Shaffat, 37:107).
3.     menghidupkan makna takbir di Hari Raya Idul Adha, dari tgl 10 hingga 13 Dzul-Hijjah, yakni Hari Nasar (penyembelihan) dan hari-hari tasyriq. Memang Syari-at agama kita menggariskan, bahwa pada setiap Hari Raya, baik Idul Fitri ataupun Idul Adha, setiap orang Islam diperintahkan untuk mengumandangkan takbir.
Di samping itu semua, Hari Raya Qurbanpun merupakan Hari Raya yang berdimensi sosial kemasyarakatan yang sangat dalam. Hal itu terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan yang akan dikorbankan, para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban itu berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa gembira dan sukacita yang dalam. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, berinteraksi sesamanya. Luapan kegembiraan di hari itu, terutama bagi orang miskin dan fakir, lebih-lebih dalam situasi sulit saat ini, sangat tinggi nilainya, ketika mereka menerima daging hewan kurban tersebut.